1.
Definisi
Metode Discovery Learning adalah teori belajar yang didefinisikan
sebagai proses pembelajaran yang terjadi bila pelajar tidak
disajikan dengan pelajaran dalam bentuk finalnya, tetapi diharapkan
mengorganisasi sendiri. Sebagaimana pendapat Bruner, bahwa: “Discovery Learning can be defined as the
learning that takes place when the student is not presented with subject matter
in the final form, but rather is required to organize it him self”
(Lefancois dalam Emetembun, 1986:103). Yang menjadikan dasar ide Bruner ialah
pendapat dari Piaget yang menyatakan bahwa anak harus berperan aktif dalam
belajar di kelas.
Bruner memakai metode yang disebutnya Discovery Learning, dimana murid
mengorganisasi bahan yang dipelajari dengan suatu bentuk akhir (Dalyono,
1996:41). Metode Discovery Learning
adalah memahami konsep, arti, dan hubungan, melalui proses intuitif untuk
akhirnya sampai kepada suatu kesimpulan (Budiningsih, 2005:43). Discovery
terjadi bila indifidu terlibat, terutama dalam penggunaan proses mentalnya
untuk menemukan beberapa konsep dan prinsip. Discovery dilakukan melalaui observasi,
klasifikasi, pengukuran, prediksi, penentuan dan inferi. Proses tersebut disebut cognitive
process sedangkan discovery itu
sendiri adalah the mental process of
assimilatig conceps and principles in the mind (Robert B. Sund dalam Malik,
2001:219).
Sebagai strategi belajar,Discovery
Learning mempunyai prinsip yang sama dengan
inkuiri (inquiry) dan Problem Solving. Tidak ada perbedaan
yang prinsipil pada ketiga istilah ini, pada Discovery Learning lebih menekankan pada ditemukannya konsep atau
prinsip yang sebelumnya tidak diketahui.Perbedaannya dengan discovery ialah
bahwa pada discovery masalah yang diperhadapkan kepada siswa semacam masalah
yang direkayasa oleh guru. Sedangkan pada inkuiri masalahnya bukan hasil
rekayasa, sehingga siswa harus mengerahkan seluruh pikiran dan keterampilannya
untuk mendapatkan temuan-temuan di dalam masalah itu melalui proses penelitian,
sedangkan Problem Solving Akan tetapi prinsip belajar yang nampak
jelas dalam Discovery Learning adalah
materi atau bahan pelajaran yang akan disampaikan tidak disampaikan dalam
bentuk final akan tetapi siswa sebagai peserta didik didorong untuk apa yang ingin
diketahui dilanjutkan dengan mencari informasi sendiri kemudian mengorgansasi
atau membentuk (konstruktif) apa yang mereka ketahui dan mereka pahami dalam
suatu bentuk akhir.
Dengan mengaplikasikan metode Discovery Learning secara berulang-ulang
dapat meningkatkan kemampuan penemuan diri individu yang bersangkutan.Penggunaan metode Discovery Learning, ingin merubah
kondisi belajar yang pasif menjadi aktif dan kreatif. Mengubah pembelajaran
yang teacher oriented ke student oriented. Merubah modus Ekspository
siswa hanya menerima informasi secara keseluruhan dari guru ke modus Discovery
siswa menemukan informasisendiri.
2.
Konsep
Dalam Konsep Belajar,sesungguhnya metode
Discovery Learning merupakan pembentukan kategori-kategori atau konsep-konsep,
yang dapat memungkinkan terjadinya generalisasi. Sebagaimana teori Bruner
tentang kategorisasi yang nampak dalam Discovery, bahwa Discovery adalah
pembentukan kategori-kategori, atau lebih sering disebut sistem-sistem coding. Pembentukan kategori-kategori dan
sistem-sistem coding dirumuskan demikian dalam arti relasi-relasi (similaritas & difference) yang terjadi diantara obyek-obyek dan
kejadian-kejadian (events). Bruner memandang bahwa suatu konsep atau
kategorisasi memiliki lima unsur, dan siswa dikatakan memahami suatu konsep
apabila mengetahui semua unsur dari konsep itu, meliputi: 1)Nama; 2)Contoh-contoh
baik yang positif maupun yang negative; 3)Karakteristik, baik yang pokok maupun
tidak; 4)Rentangan karakteristik; 5)Kaidah (Budiningsih, 2005:43). Bruner
menjelaskan bahwa pembentukan konsep merupakan dua kegiatan mengkategori yang
berbeda yang menuntut proses berfikir yang berbeda pula. Seluruh kegiatan
mengkategori meliputi mengidentifikasi dan menempatkan contoh-contoh
(obyek-obyek atau peristiwa-peristiwa) ke dalam kelas dengan menggunakan dasar
kriteria tertentu.
Di dalam proses belajar, Bruner
mementingkan partisipasi aktif dari tiap siswa, dan mengenal dengan baik adanya
perbedaan kemampuan. Untuk menunjang proses belajar perlu lingkungan memfasilitasi
rasa ingin tahu siswa pada tahap eksplorasi. Lingkungan ini dinamakan Discovery Learning Environment, yaitu
lingkungan dimana siswa dapat melakukan eksplorasi, penemuan-penemuan baru yang
belum dikenal atau pengertian yang mirip dengan yang sudah diketahui.
Lingkungan seperti ini bertujuan agar siswa dalam proses belajar dapat berjalan
dengan baik dan lebih kreatif.
Untuk memfasilitasi proses belajar yang
baik dan kreatif harus berdasarkan pada manipulasi bahan pelajaran sesuai
dengan tingkat perkembangan kognitif siswa. Manipulasi bahan pelajaran
bertujuan untuk memfasilitasi kemampuan siswa dalam berfikir (merepresentasikan
apa yang dipahami) sesuai dengan tingkat perkembangannya. Menurut Bruner
perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui tiga tahap yang ditentukan oleh
bagaimana cara lingkungan, yaitu: enactive, iconic,
dan symbolic. Tahap enaktive, seseorang melakukan aktivitas-aktivitas dalam upaya
untuk memahami lingkungan sekitarnya, artinya, dalam memahami dunia sekitarnya
anak menggunakan pengetahuan motorik, misalnya melalui gigitan, sentuhan,
pegangan, dan sebagainya.Tahap iconic,
seseorang memahami objek-objek atau dunianya melalui gambar-gambar dan
visualisasi verbal.Maksudnya, dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar
melalui bentuk perumpamaan (tampil) dan perbandingan (komparasi).Tahap symbolic, seseorang telah mampu
memiliki ide-ide atau gagasan-gagasan abstrak yang sangat dipengaruhi oleh
kemampuannya dalam berbahasa dan logika.Dalam memahami dunia sekitarnya anak
belajar melalui simbol-simbol bahasa, logika, matematika, dan sebagainya.
Komunikasinya dilakukan dengan
menggunakan banyak simbol. Semakin matang seseorang dalam proses berpikirnya,
semakin dominan sistem simbolnya. Secara sederhana teori perkembangan dalam
fase enactive, iconic dan symbolic adalah anak menjelaskan sesuatu melalui
perbuatan (ia bergeser ke depan atau kebelakang di papan mainan untuk
menyesuaikan beratnya dengan berat temannya bermain) ini fase enactive.
Kemudian pada fase iconic ia menjelaskan keseimbangan pada gambar atau bagan
dan akhirnya ia menggunakan bahasa untuk menjelaskan prinsip keseimbangan ini
fase symbolic (Syaodih, 85:2001). Dalam mengaplikasikan metode Discovery Learning guru berperan sebagai
pembimbing dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar secara
aktif, sebagaimana pendapat guru harus dapat membimbing dan mengarahkan
kegiatan belajar siswa sesuai dengan tujuan (Sardiman, 2005:145). Kondisi
seperti ini ingin merubah kegiatan belajar mengajar yang teacher oriented
menjadi student oriented. Hal yang menarik dalam pendapat Bruner yang
menyebutkan: hendaknya guru harus memberikan kesempatan muridnya untuk menjadi
seorang problem solver, seorang
scientis, historin, atau ahli matematika. Dalam metode Discovery Learning bahan
ajar tidak disajikan dalam bentuk akhir, siswa dituntut untuk melakukan
berbagai kegiatan menghimpun informasi, membandingkan, mengkategorikan,
menganalisis, mengintegrasikan, mereorganisasikan bahan serta membuat kesimpulan-kesimpulan.
Hal tersebut memungkinkan murid-murid
menemukan arti bagi diri mereka sendiri, dan memungkinkan mereka untuk
mempelajari konsep-konsep di dalam bahasa yang dimengerti mereka. Dengan
demikian seorang guru dalam aplikasi metode Discovery
Learning harus dapat menempatkan siswa pada kesempatan-kesempatan dalam
belajaryang lebih mandiri. Bruner
mengatakan bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru
memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan,
atau pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupannya
(Budiningsih, 2005:41).
Pada akhirnya yang menjadi tujuan dalam
metode Discovery Learning menurut
Bruner adalah hendaklah guru memberikan kesempatan kepada muridnya untuk
menjadi seorang problem solver,
seorang scientist, historin, atau ahli matematika. Dan melalui kegiatan
tersebut siswa akan menguasainya, menerapkan, serta menemukan hal-hal yang
bermanfaat bagi dirinya. Karakteristik yang paling jelas mengenai Discovery
sebagai metode mengajar ialah bahwa sesudah tingkat-tingkat inisial (pemulaan) mengajar,
bimbingan guru hendaklah lebih berkurang dari pada metode-metode mengajar
lainnya. Hal ini tak berarti bahwa guru menghentikan untuk memberikan suatu
bimbingan setelah problema disajikan kepada pelajar. Tetapi bimbingan yang
diberikan tidak hanya dikurangi direktifnya melainkan pelajar diberi responsibilitas yang lebih besar untuk
belajar sendiri.
Ada beberapa kelemahan dan kelebihan pelaksanaan model pembelajaran Discovery Learning disini
0 $type={blogger}:
Post a Comment